Powered by Blogger.

Kondisi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan | IPS

Kondisi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Seluruh bangsa di dunia berhak untuk memperoleh kemerdekaannya. Untuk mempertahankan hak kemerdekaan itu, bangsa-bangsa di dunia rela mengorbankan harta, benda, bahkan nyawa. Hal ini pula yang terjadi di bumi Indonesia. Setelah meraih kemerdekaannya, bangsa Indonesia bertekad menjaga kemerdekaan yang telah berhasil diraih itu. Bentuk negara serikat yang disepakati berdasarkan Konferensi Meja Bundar, ternyata bukanlah cita-cita bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pun mulai berbenah diri untuk dapat kembali dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1. Proses Kembalinya Indonesia Sebagai Negara Kesatuan
Belanda berniat melancarkan politik devide et impera dalam wilayah Indonesia. Setelah melaksanakan agresi militer pertama, Belanda membagi Indonesia dalam enam negara bagian, yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Madura, Negara Jawa Timur, dan Negara Pasundan. Selain itu, Belanda juga mendirikan sembilan daerah otonom di wilayah Indonesia. Setelah mendirikan enam negara boneka dan sembilan daerah otonom,  

Belanda berusaha melenyapkan RI dengan melaksanakan Agresi Militer II. Belanda berharap jika RI dilenyapkan, Belanda dapat dengan mudah mengatur negara-negara bonekanya. Agresi militer Belanda II, menyebabkan Indonesia mendapatkan simpati dari dunia internasional. Akhirnya, Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar.

Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan penandatanganan pengakuan kedaulatan. Indonesia berubah bentuk menjadi negara Serikat. Meskipun demikian, bangsa Indonesia bertekad untuk mengubah RIS kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kurang dari delapan bulan masa berlakunya, RIS berhasil dikalahkan oleh semangat persatuan bangsa Indonesia.

Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara boneka Belanda pertama, ternyata banyak mengalami kerusuhan. Presiden NIT yaitu Cokorde Gde Raka Sukawati mengumumkan keinginan NIT untuk bergabung dengan Indonesia. Pada tanggal 19 Mei 1950 diadakan konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil RIS dan RI dengan keputusan inti sebagai berikut.
  1. Kesediaan bersama untuk kembali mewujudkan NKRI.
  2. Ada perubahan Konstitusi seperti penghapusan senat, susunan DPRS baru, kabinet sifatnya parlementer, dan DPA dihapuskan. 
Disepakati pula bahwa Soekarno tetap menjadi presiden NKRI. Pada tanggal 17 Agustus 1950 bendera Merah Putih dikibarkan di depan istana bekas gubernur jenderal Belanda yang telah dijadikan Istana Merdeka.  

2. Perekonomian Pasca Pengakuan Kedaulatan
Sejak memperoleh pengakuan kedaulatan dari Belanda, bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan akibat ketentuan-ketentuan dalam Konferensi Meja Bundar, situasi politik yang belum stabil, dan adanya kenyataan bahwa perusahaan swasta besar dan bank pada saat itu masih dikuasai oleh orang-orang Belanda.

Untuk mengatasi krisis, Kabinet Sukiman  (1951–195) menjalankan kebijakan
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Nasionalisasi dapat diartikan sebagai tindakan untuk menjadikan sesuatu kekayaan milik asing menjadi milik negara. Kebijakan nasionalisasi De Javasche Bank dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang nasionalisasi De Javasche Bank Nomor 24 Tahun 1951. Sebelumnya, pemerintah telah memberhentikan Presiden De Javasche Bank, Dr. Howink dan mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara. Nasionalisasi De Javasche Bank melengkapi kepemilikan pemerintah terhadap bank-bank peninggalan Belanda.

Sejak tahun 1950 bangsa Indonesia mulai meninggalkan sistem perekonomian kolonial dan menggantinya dengan sistem ekonomi nasional. Pelopor perokonomian nasional adalah Drs. Moh. Hatta yang menyatakan bahwa ekonomi bangsa Indonesia harus dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri dengan asas gotong royong. Pemikiran untuk menyusun perekonomian nasional dilanjutkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Beliau menyatakan bahwa dalam alam kemerdekaan perlu diadakan kelas pengusaha melalui Gerakan Benteng. Gerakan Benteng merupakan kebijakan untuk melindungi pengusaha-pengusaha pribumi karena desakan pengusaha kuat bermodal besar yang berasal dari golongan nonpribumi. Para pengusaha pribumi mendapat lisensi (semacam hak istimewa) dalam dunia bisnis.

3. Pemilu 1955
Anggota DPRS yang dipilih dari hasil kompromi antara golongan unitaris dengan federalis perlu segera diganti melalui pemilu. Selain itu, UUDS juga perlu untuk diganti karena bersifat sementara. Pemilu dilaksanakan guna memilih anggota konstituante yang bertugas menyusun UUD baru. Pemilu untuk memilih anggota DPR ditetapkan pada tanggal 29 September 1955. Pemilu untuk memilih anggota konstituante ditetapkan untuk dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955.  

Pemilu 1955 diikuti oleh 28 partai dan beberapa calon perorangan dengan jumlah pemilih 39 juta orang. Pemilu untuk memilih anggota DPR hasilnya hampir sama dengan pemilu untuk memilih anggota konstituante. Tampil sebagai empat besar pengumpul suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Anggota DPR dilantik di Jakarta, sedangkan Konstituante dilantik di Bandung. Selanjutnya, Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) sebagai penyelenggara pemilu menyerahkan mandatnya kepada presiden. Kabinet baru di bawah pimpinan Ali Sastroamidjojo (PNI) pun segera melaksanakan tugasnya.

4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Menjelang tahun 1959 Indonesia banyak mengalami permasalahan. Dalam bidang politik, sering terjadi pergantian kabinet. Rakyat semakin merasakan partai politik lebih mengutamakan kepentingan sendiri dan ketidakmampuan konstituante melaksanakan tugasnya. Konstituante tidak berhasil menyusun UUD baru guna menggantikan UUDS. Dengan anggota yang berjumlah 542 orang dan berasal dari banyak partai menyebabkan konflik dalam badan konstituante sulit dihindarkan.

Dalam bidang keamanan, terjadi pergolakan yang ditimbulkan oleh pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Pemberontakan-pemberontakan dipicu oleh ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat. Situasi dalam negeri yang semakin tidak menentu mendorong Presiden Soekarno mengajukan konsepsi yang berisi hal-hal berikut ini.
  1. Sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia karena itu harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.
  2. Untuk melaksanakan demokrasi terpimpin perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong yang anggotanya terdiri atas semua partai atau organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan dalam masyarakat.
  3. Pembentukan Dewan Nasional terdiri atas golongan-golongan fungsional yang bertugas sebagai penasihat kabinet.
Dalam suasana pro dan kontra ini, pada tanggal 25 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat di depan anggota konstituante, yang berisi anjuran untuk kembali pada UUD 1945. Amanat ini menjadi perdebatan di konstituante sehingga diputuskan untuk diadakan pemungutan suara. Ternyata, hasil pemungutan suara menunjukkan bahwa kurang dari 2/3 anggota konstituante menyetujui untuk kembali pada UUD 1945. Kegagalan konstituante untuk menyusun dan menetapkan sebuah UUD serta perdebatan- perdebatan di dalamnya, menyebabkan situasi politik semakin tidak menentu. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang (inkonstitusional).

Pada tanggal 5 Juli 1959 dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang selanjutnya dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inti dari Dekrit Presiden ini sebagai berikut.
  1. Pembubaran konstituante.
  2. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS.
Dengan dekrit ini, berarti Kabinet Parlementer di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda dinyatakan demisioner. Kabinet digantikan oleh Kabinet Presidensial yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi tonggak bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno mempunyai kekuasaan yang besar. Bahkan, pada tanggal 5 Maret 1960 Presiden Soekarno memiliki kemampuan untuk membubarkan DPR hasil pemilu 1955. Selain itu, melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk MPRS yang anggota-anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

5. Gangguan Keamanan Dalam Negeri
Sejak memperoleh kedaulatan, bangsa Indonesia banyak mengalami pergolakan di daerah. Hal ini dipicu oleh kurang harmonisnya hubungan pusat-daerah, persaingan ideologis dan masalah sosial politik lainnya. Dalam perkembangannya, pergolakan-pergolakan tersebut mengarah pada gerakan separatis yang berniat memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pergolakan yang terjadi pada umumnya berbentuk gangguan keamanan berupa pemberontakan-pemberontakan bersenjata. Beberapa pemberontakan tersebut antara lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta).  

0 comments:

Post a Comment